![]() |
| Success (Foto: Pixabay) |
Dalam sebuah postingan di X (dulu Twitter) seseorang membahas tentang kemampuan ChatGPT dengan penuh kekaguman dan ketakjuban. Saking bangganya dengan temuan terbaru itu, ia mengajak orang lain untuk ikut serta mencobanya. Orang lain yang juga sudah pernah mencoba ChatGPT menimpali postingan tersebut dengan pengakuan yang sama takjubnya, “ini benar-benar hebat, Google akan menelepon.” Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca. “Ini berlebihan,” kataku dalam hati .
Waktu itu merupakan perkenalan awal dari ChatGPT. Tidak banyak yang tahu tentang “hewan” yang satu ini; sehebat apa dan apa pengaruhnya di masa depan. Kemampuannya pun terbatas dan masih berada pada tahap pengembangan. Komentar saya “Ini berlebihan” berbekal secuil informasi yang berasal dari sebuah cuitan pengguna X. Ia memaparkan hasil kerja dari ChatGPT yang bagi saya terlihat tidak jauh berbeda dan lebih hebat dibandingkan Google. “Aplikasi ini dapat menjawab semua pertanyaan Anda” – narasi yang coba dibangun pada saat itu, atau mungkin masih berlangsung hingga saat ini. "Bukankah Google melakukan hal yang sama? Ketik apapun dan ia dengan senang hati akan menyajikan 10 halaman sebagai jawaban untuk Anda! Lalu, hebatnya ChatGPT dimana?" kataku dalam hati.
Saya benar-benar menganggap orang di X itu berlebihan dalam memuji. Ketika orang lain mulai FOMO ; penasaran pada kehebatan ChatGPT, berlomba berbagi testimoni, dan memberikan reaksi yang mengagumkan, saya tetap pada mode “ fixed mindset .” Menurut pemahaman saya yang dangkal, cara kerja tidak jauh berbeda dengan Google atau mesin pencari lainnya. Tidak ada yang spesial yang membuat saya takjub dan ingin bertanya. Entah karena penjelasan mereka yang kurang meyakinkan atau saya yang minim literasi teknologi!
Sampai akhirnya hampir semua media mainstream ikut membahas si ChatGPT ini. Rasa penasaran saya sedikit terusik, apakah memang sehebat itu? Tapi, saya belum ada alasan yang kuat mengapa saya harus mencoba ChatGPT? Kuno dan kuno . Saya masih senang menggunakan cara lama untuk mendapatkan informasi. ChatGPT, Google ataupun mesin pencari lainnya adalah spesies yang sama bagi saya. “Ini hanya soal selera dalam mengakses informasi,” pikirku saat itu.
Rasa penasaran yang sebelumnya diam-diam bersemayam dalam pikiran akhirnya bertransformasi menjadi sebuah tindakan nyata setelah mendengar dari seseorang bahwa ChatGPT mampu menyusun skripsi dan bisa membuat sebuah novel dengan gaya kepenulisan khas dari para novelis terkemuka. Sebagai seorang
Kompasianer yang mulai tertarik dalam dunia kepenulisan dan berharap bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dari sebuah tulisan, saya jadi khawatir dan mulai bertanya “Bagiamana bisa saya bersaing dengan sebuah mesin yang memiliki kapasitas memori yang besar; selalu mengingat apa yang diajarkan; tidak lelah membaca dan belajar, serta memiliki kemampuan menulis artikel dalam sekian detik ? Apakah masih ada peluang dan bagi profesi penulis di masa depan?”
Ketika Elon Musk Mengingatkan Bahaya AI …
Saya menjadi sadar dan waspada terhadap perkembangan AI terutama ucapannya berikut ini:
"Kita akan memiliki sesuatu yang, untuk pertama kalinya, lebih pintar dari manusia terpintar. Anda bisa mempunyai pekerjaan jika Anda ingin memiliki pekerjaan untuk kepuasan pribadi. Tapi AI akan mampu melakukan segalanya," -Elon Musk
Prediksi ini tidak datang dari ChatGPT melainkan dari sosok yang sudah lama berkecimpung dalam dunia teknologi. Pengalamannya tidak perlu diragukan lagi, pencipta OpenAI ChatGPT awalnya merupakan organisasi nirlaba yang salah satu pendirinya adalah Elon Musk. Konflik internal karena perbedaan pandangan terkait arah OpenAI kedepannya membuat Elon Musk mundur. Kabarnya dia-lah yang seharusnya menjabat sebagai CEO OpenAI. Sayangnya, kemampuan melobi Sam Altman nampaknya jauh lebih canggih.
Tahun 2015 OpenAI didirikan dengan misi utama yaitu memastikan bahwa kecerdasan buatan ( Artificial Intellegence ) memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia dan bebas dari kewajiban untuk menghasilkan keuntungan finansial. Pada tahun 2019, OpenAI mendirkan anak perusahaan yang berorientasi pada laba untuk meningkatkan penelitian, penerapan dan pengembangan AI yang membutuhkan modal yang besar. OpenAI Foundation adalah entitas nirlaba sementara OpenAI Group PBC menjadi entitas laba.
Pertanyaannya kemudian adalah “Apakah berorientasi pada keuntungan atau nirlaba, akankah sejauh mana ciptaan OpenAI mengancam pekerjaan manusia di masa depan?”
Ketika Upgrade Soft Skill menjadi lebih penting dari sekedar Kepintaran…
Laporan World Economic Forum ( WEF ) dengan tajuk Future of Works 2025 menyebutkan bahwa sebanyak 170 juta pekerjaan baru akan muncul pada tahun 2030 sementara ada 92 juta pekerjaan yang akan diganti atau hilang akibat gangguan teknologi dan perubahan pasar. Kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan atau akal buatan (AI) memiliki peran dalam mempengaruhi arah dunia kerja di masa depan. Berikut 10 keterampilan utama yang paling dibutuhkan menurut WEF:
- Berpikir analitis / Berpikir analitis : 69%
- Ketahanan, ketangkasan, dan ketangkasan / Ketahanan, fleksibilitas dan ketangkasan : 67%
- Kepemimpinan dan kemampuan bersosialisasi / Kepemimpinan dan pengaruh sosial : 61%
- Berpikir Kreatif / Berpikir kreatif : 57%
- Literasi teknologi / Literasi teknologi : 52%
- Motivasi tinggi dan kesadaran diri / Motivasi dan Kesadaran Diri : 51%
- Empati dan aktif mendengar / Empati dan mendengarkan aktif: 50%
- Rasa ingin tahu dan keinginan belajar / Rasa ingin tahu dan pembelajaran seumur hidup: 50%
- Pengelolaan potensi / Manajemen talenta : 47%
- Orientasi layanan dan layanan pelanggan / Orientasi layanan dan layanan pelanggan: 47%
Laporan Future of Work 2025 mengurutkan keterampilan kerja paling penting untuk tahun 2025 berdasarkan 1043 tanggapan unik dari perusahaan global yang secar kolektif mewakili lebih dari 14,1 juta karyawan di seluruh dunia. Keterampilan literasi dasar seperti membaca, menulis dan matematika tidak masuk peringkat 10 besar namun tetap berada dalam daftar 26 keterampilan teratas yang paling dibutikan dengan skor 21% diperingakt 21. Artinya, prospek sebagai penulis masih sangat menjanjikan terutama ketika keterampilan menulis yang dimiliki dikombinasikan dengan literasi teknologi, misalnya kemampuan menganalisis karya tulis sebagai hasil ciptaan ChatGPT dan memanfaatkannya untuk melengkapi tulisan kita sendiri.
Jadi, ChatGPT seharusnya tidak diposisikan sebagai “penulis,” melainkan sebagai referensi tulisan. Berpikir kreatif adalah keterampilan yang dimiliki manusia bukan mesin. Kreatif merupakan kata pujian yang hanya ditujukan kepada manusia atas karya yang ia hasilkan dengan pikiran dan tanggannya sendiri. Kita tidak memuji ChatGPT, DeepSeek , atau AI Generatif lainnya dengan kata yang sama. Alih-alih menyebut kreatif, kita memilih kata-kata lain seperti canggih, hebat, pintar, luar biasa, cerdas dan lainnya. Diperlukan kreativitas dalam merangkai kalimat perintah kepada prompt AI agar bisa menghasilkan karya yang bagus. Hasilnya menakjubkan dan mengesankan karena kreativitas manusia dalam memerintah dan kemampuan AI dalam mematuhi perintah.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Upgrade diri, jangan kudet. Tapi jangan salah paham. Kudet
disini bukan berarti kita ketinggalan informasi seputar kehidupan selebriti,
selebgram, artis, influencer atau apapun-lah namanya. Kudet disini bisa mengacu
pada 10 keterampilan diatas. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah sesuatu
yang bisa kita pelajari dan banyak cara untuk melakukannya. Contoh, kalau kamu
termasuk self-learner yang tidak suka keramaian, manfaatkan kurus online yang
terkadang lebih mudah dan fleksibel. Dengan menguasai berbagai soft skill
diatas, kita menjadi relevan dengan kebutuhan kerja saat ini. Hindari “fixed
mindset” dan minim literasi teknologi seperti pengalaman saya diawal karena
hal tersebut akan menghalangi kita dari melihat tantangan-tantangan kedepan dan
bagimana menyiapkan diri dalam menghadapinya. Ingat bahwa upgrade diri tidak
berkaitan dengan usia, tidak instan dan butuh proses.

Comments
Post a Comment