![]() |
| Meeting (Foto: Pixabay) |
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa pemilu tidak lagi diadakan secara serentak pada 2029 nanti, dimana pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD akan dipisah paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Artinya, pemilu daerah atau pilkada akan molor sampai 2031 bahkan 2032 setelah pemilu nasional selesai diadakan yang ujung-ujungnya akan memperpanjang masa jabatan para pejabat daerah menjadi 7 bahkan 8 tahun.
MK punya anggapan lain mengapa pemilu
nasional dan daerah sebaiknya dipisah. Menurut MK pemilu serentak yang diadakan
pada tahun yang sama bisa menimbulkan berbagai persoalan seperti lemahnya
kelambagaan partai politik karena hanya memiliki sedikit waktu untuk menyiapkan
kader yang berkualitas untuk bertarung dalam arena pemilihan umum. Selain itu,
MK menilai agenda pemilu serentak memecah fokus masyarakat akibat banyaknya
kertas suara yang harus dicoblos. Pertanyaannya, ada ngga cara lain untuk
memisahkan jadwal pemilu nasional dan lokal tanpa harus menambah masa jabatan
para anggota DPRD atau kepala daerah?
Persiapan Kader Berkualitas dan
Partisipasi Publik
Kalau tujuannya
agar parpol bisa menyiapkan diri untuk menentukan kandidat terbaiknya-
berkualitas menurut partai-, maka rasanya hal ini juga perlu disangsikan.
Pertama, tingginya korupsi di kalangan anggota legislatif. Kita jadi bertanya-tanya, apakah proses kaderisasi
partai sudah berjalan dengan sebaik-baiknya? Apakah kurikulum partai telah
sesuai dengan amanat konstitusi dan UUD 1945? Apakah ada mata kuliah akhlak
& etika di dalamnya? Entahlah. Itu urusan internal partai. Yang
pasti banyaknya koruptor, bagi masyarakat adalah indikasi dari proses
perekrutan & pemilihan calon legislatif yang kurang memadai. Sebaiknya
pemerintah mulai melakukan intervensi demi kebaikan rakyat, contohnya ada tes
TWK, TIU, TPK, mirip-mirip CPNS-lah bagi mereka yang mencalonkan diri
sebagai anggota dewan atau kepala daerah. Paling tidak masyarakat tau kualitas
intelektual mereka jadi tidak mudah terpedaya dengan image-image populis yang
dibangun oleh narasi tik-tok.
Kedua, money politic. Sudah jadi
rahasia umum, dan umumnya rahasia kalau ongkos politik itu sangat mahal dan
maharnya berbeda-beda tergantung hierarki kekuasaan. Masa iya sudah
mengeluarkan banyak uang pribadi tapi yg diuntungkan masyarakat umum?
Rasa-rasanya sistem pemerintahan kita tidak menuntut ketulusan dari para
pejabatnya. Andaikata demikian, gaji mereka dibuat kecil saja agar siapa yang
mau jabatan itu sudah pasti jauh dari tujuan materi. Seperti guru honorer kan,
dilabeli Pahlawan tanpa Jasa jadi setiap protes soal gaji dibungkam dengan
ucapan “harus bersyukur, diluar sana
masih banyak yang tidak bisa kerja, pahala kamu luar biasa nanti di
akhirat.” Proses demokrasi yg
semestinya mahal karena adanya partisipasi publik menjadi murah karena
kebiasaan bagi-bagi duit dan sembako.
Ketiga, proses pemilu yang penuh tipu muslihat. Masyarakat pesimis pada proses pemilu yang adil dan
jujur. Dari awal status kemiskinan seseorang sudah terancam. “Kalau kamu
tidak memilih ini, bantuan kamu akan dicabut.” Dari awal suara kita sudah
digadaikan. Tidak ada lagi proses demokrasi yg murni karena suara kita hanya
dianggap sebagai komoditas. Pun, masyarakat tetap menerima bansos dan uang, itu
karena mereka diberikan. Kebiasaan menyuguhkan uang menginternalisasi pikiran
masyarakat bahwa pemilu itu merupakan proses perputaran uang yg sudah biasa.
Akhirnya mereka berpikir “Baru mau calon
aja sudah pelit kasih bantuan, apalagi kalo terpilih. Masih mending yang itu
kasih 20 ribu. Yang penting bisa beli kopi cup.” Disamping literasi politik
masyarakat yg rendah, kebiasaan aktor politik memanfaatkan kondisi ekonomi
masyarakat menyulitkan tercapainya proses pemilu yg transparan dan bertanggung
jawab.
Meningkatkan Partisipasi Publik
![]() |
| Election Day (Foto: Pixabay) |
KPU telah
meluncurkan Indeks Partisipasi Pemilu (IPP) 2024 dimana tingkat partisipasi
pilpres sebesar 81,48%, legislatif 81,14%, dan DPD 81,50%. Sementara angka
partisipasi pemilih pilkada berdasarkan Sirekap hanya 68,1%, menjadi yang
terendah sejak pertama kali pilkada serentak diselenggarakan dan turun secara
signifikan jika dibandingkan pada Pilkada 2015, 2017 dan 2018. Menurut
(Nastitie, 2024) salah satu alasannya disebabkan oleh jarak antara
penyelenggara pemilihan presiden dan anggota legislatif yang terlalu dekat
dengan pilkada. Jarak tersebut membuat masa kampanya jauh lebih pendek sehingga
sosialiasi menjadi terbatas. Masa kampanye yang lebih panjang dianggap
memberikan peluang bagi masyarakat untuk lebih mengenal kandidat.
Dengan melihat
data ini, putusan MK menjadi cukup masuk akal. Meskipun ada dua kemungkinan hal
yang bisa mempengaruhi angka partisipasi pilkada. Pertama, kucuran dana yang
terlalu sedikit. Entah itu untuk kebutuhan kampanye dan sembako, parpol
biasanya akan lebih fokus pada pemenangan pilpres. Kedua, masyarakat mulai bisa
membedakan kualitas antar kandidat. Bisajadi, calon yang diajukan partai tidak
sesuai dengan preferensi masyarakat, dan jengah dengan hasil kerja anggota
legislatif sebelumnya. Akhirnya, terjadi generalisasi bahwa siapapun yang
terpilih hasilnya akan sama nihilnya.
Tahun Yang Sama, Beda Bulan
Sebenarnya sih bisa saja pemilu
dan pilkada diadakan serentak pada tahun yang sama tapi dibedakan bulannya
sebagaimana yang terjadi pada tahun 2004 dan 2009 dimana pileg pada bulan april
dan pilpres dibulan juli. Ini cukup ideal sebenarnya dimana ada jeda beberapa
bulan untuk menyiapkan segalanya dalam kontestasi berikutnya. Meskipun, menurut
KPU pemilu serentak itu secara teknis lebih ribet dan harus bekerja
lebih ekstra. Pun, dengan Bawaslu yang sepakat bahwa pemilu serentak selama ini
terlalu rumit, padat dan membebani penyelenggara dan pemilih.
Harus diakui bahwa pemilu sebelumnya
menyebabkan banyak anggota KPPS kelelahan bahkan sampai meninggal dunia. Jangan
sampai niat hemat anggaran pemilu malah mengorbankan nyawa seseorang. Beberapa
orang mungkin tidak sepakat dengan putusan MK ini semata karena akan
memperpanjang masa jabatan anggota dewan. Wajar saja karena kita tau kinerja
mereka seperti apa dan betapa jauhnya mereka dari representasi rakyat. Yang
sepakat, berharap putusan ini tidak menjadi celah untuk penyalahgunaan
kewenangan. Bagi kepala daerah bisa digantikan sementara dengan penjabat
sementara (Pjs), dan bagi DPRD opsinya hanya perpanjangan masa jabatan.


Comments
Post a Comment