![]() |
| Warning Sign (Foto: Pixabay) |
Salah satu indikasi literasi digital yang rendah adalah maraknya penyebaran hoaks di media sosial . Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang ditemukan selama tahun 2018, terdapat 997 hoaks yang beredar di masyarakat dimana 488 di antaranya merupakan hoaks politik . Databoks KataData (2019) mencatat bahwa 52,9% berita hoaks politik terjadi pada tahun 2019 dan 47,1% pada tahun 2018. Apa artinya? Menjelang pemilu penyebaran hoaks politik semakin gencar dan marak terjadi terutama pada bulan Desember, melansir fitur Kemenkominfo pada Pemilu 2019 .
Kritis .
Menjadi salah satu kaidah berpikir yang sangat dibutuhkan di era arus informasi yang bergitu deras dan tak terbendung.Bagaimana tidak penyebaran hoaks begitu masif terjadi di dunia maya.Orang-orang tampak kebingunan untuk membedakan mana berita yang benar danberita palsu ( berita palsu ) . Belum lagi kita telah memasuki era post truth dimana fakta dan kebenaran tidak lagi menjadi hal yang penting.Sekalipun mengandung fakta, dibuat oleh elit atau tokoh masyarakat yang populer,suatu pendapat belum tentu benar. Kenapa? Karena narasi yang dibawakan terkadang sengaja dibuat untuk mengajak masyarakat berpikir sesuai dengan keinginan pembuat opini.
Misinformasi
adalah keadaaan dimana penyebar berita palsu (hoax ) meyakini bahwa berita tersebut benar padahal kenyataannya tidak sama sekali bahkan 100 persen salah. Di dalam pemanfaatan post truth yang sangat efektif. Para “ tukang pelintir ” ini secara sengaja dan sadar menyebarkan disinformasi - berita bohong dengan tujuan tertentu-dengan trik yang begitu mudah, murah dan picik.
Ya,mereka memanfaatkan kecenderungan kita yang impulsif,mempertahankan emosi dan 'berperasaan' dalam menanggapi suatu berita. Judul yang bombastis,fantasistis dan hiperbolis digunakan untuk mengecoh perasaan kita. Penggunaan deretan tanda baca (!) - seru - dan huruf kapital dibuat sedemikian rupa agar orang percaya bahwa berita tersebut penting, genting, dan darurat.Penambahan kata “ VIRALKAN ” atau “ SEBARKAN ” sebuah pesan sudah menjadi “ bendera merah ” bagi bahwa ada yang dalam informasi tersebut. Kemampuan kita untuk mengenali lebih dini ciri atau tanda bahwa berita tersebut merupakan hoax atau berita palsu akan menentukan tingkat penyebarannya.
Semakin kritis seseorang maka semakin sulit ia diyakinkan. Ketika seseorang terus menggali kebenaran suatu berita atau informasi, ia akan menyempatkan waktu untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan mengalir semuanya. Keinginan untuk membaca lebih banyak merupakan elemen yang sangat penting untuk mencegah kita menjadi korban misinformasi ataupun disinformasi .Saring sebelum sharing , think before posting ,dan bijak dalam bermedia sosial. Kecakapan digital adalah salah satu keterampilan yang akan membantu kita dari maraknya penyebaran berita bohong, fitnah, ujaran seperti, rangsangan, dan pelintiran berita yang bisa mengganggu ketenangan dan keteriban masyarakat dalam.
Tidak hanya sekedar mampu mengoperasikan smartphone,komputer atau teknologi, keterampilan digital yang mencakup kemampuan seseorang dalam memanfaatkan perangkat-perangkat digital untuk meningkatkan produktivitasnya dan meningkatkan kesejahteraannya.Itulah mengapa ada empat modul literasi digital yang dikeluarkan oleh Kominfo, Cakap Bermedia Digital , Budaya Bermedia Digital , Etis Bemedia Digital dan Aman Bemedia Digital . Modul tersebut sebaiknya dibaca dan dipahami dengan baik oleh masyarakat agar terhindar dari penipuan digital
yang sangat merugikan, misalnya berita palsu atau hoax.
Digital Skills
(Kecakapan Digital) adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital . Budaya Digital (Budaya Digital) merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari). Etika Digital (Etika Digital) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola digital ( netiket ) dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Digital Safety
(Keamanan Digital) merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, keterampilan digital itu sebenarnya menuntut kita menjadi warga yang bertanggung jawab.Orang yang bertanggung jawab tidak akan merugikan orang lain. Sebaliknya ikut berkolaborasi dan berkolaborasi mewujudkan lingkungan offline/online
yang aman, tentram dan damai. Kemampuan kita dalam mengakses berbagai informasi adalah satu hal,namun bagaimana kita memanfaatkan informasi tersebut-mendekonstruksinya menjadi hoax- hanya menunjukkan ketidak-etisan kita dalam bermedia sosial.
Seperti video hoax
yang baru-baru ini beredar tentang pendeklarasian dukungan panglima TNI untuk salah satu kandidat calon presiden 2024 nanti. Cuplikan video yang ditampilkan melenceng dari kejadian yang sesungguhnya. Di edit berupa rupa dengan bukti video dan audio-yang terbukti hasil rekayasa-untuk meyakinkan masyarakat bahwa kabar tersebut benar adanya. Bayangkan jika kita tidak hati-hati, tidak berusaha merasionalisasi apa yang terjadi, tidak cukup cakap dalam pemberitaan di ranah digital, kita bisa menjadi kontributor hoax yang meresahkan dan mengancam persatuan bangsa.
|
Japelidi (2018) |
Tular Nalar (2020) |
Kementrian Komunikasi dan Informatika,Siberkreasi & Deloitte (2020) |
|
|
● Akses ● Paham ● Seleksi ● Distribusi ● Produksi ● Analisis ● Verifikasi ● Evaluasi ● Partisipasi ● Kolaborasi |
● Mengakses ● Mengelola Informasi ● Mendesain Pesan ● Memproses Informasi ● Berbagi Pesan ● Membangun Ketangguhan Diri ● Perlindungan
Data ● Kolaborasi |
● Kelola Data Informasi ● Komunikasi dan Kolaborasi ● Kreasi Konten ● Keamanan Digital ● Partisipasi dan Aksi |
● Keterampilan Digital ● Budaya Digital ● Etika Digital ● Keamanan Digital |
Sumber: Modul Literasi Digital
Sudahkah SohIB mengukur kompetensi literasi digital menggunakan kerangka di atas?Jika belum, yuk
sama-sama mengisi “ Evaluasi Kompetensi ” yang telah disediakan pada setiap bab 'Modul Literasi Digital' untuk internet Indonesia yang lebih baik.
1. Skeptis
Jangan mudah percaya pada setiap informasi yang beredar di internet.Selalu ragu akan kebenaran berita yang tersebar sampai ditemukannya sumber yang bisa kebenarannya.Lakukan check and recheck , double check , verifikasi silang untuk menilai keabsahan berita yang tersebar.Hal ini mungkin akan memakan waktu dan 'sedikit' melelahkan tapi jauh lebih baik daripada kamu memperpanjang UU ITE sebagai orang yang ikut serta menyebarkan hoax.
2. Kritis
Tidak langsung membagikan berita namun perasaan kamu percaya tentang 'kebenaran' berita tersebut. Lakukan penalaran dan coba telusuri sumber beritanya. Pastikan berasal dari media yang akuntabel, kredibel dan terdaftar di dewan pers. Media-media tersebut tentu saja akan memberitakan sesuatu dengan mengikuti kaidah jurnalistik yang ada.
3. Cek Fakta
cekfakta.com adalah sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta yang dibangun di atas API Yudistira oleh MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan mengunjungi bekerja sama dengan beberapa media online yang tergabung di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) serta di dukung oleh Google News Initiative dan Internews serta First Draft .Langsung https://cekfakta.com
jika kamu ragu benar tidaknya berita yang dibaca.
4. Laporan
Setelah kalian menjalankan tiga langkah di atas dan meyakini bahwa berita tersebut adalah hoaks yang mungkin kebenarannya,maka langsung saja adukan konten tersebut melalui email : aduankonten@kominfo.go.id atau akun twitter @aduankonten atau melalui WhatsApp di nomor 081-1922-4545.
Referensi:
https://databoks.katadata.co.id/
*Tulisan ini diikutsertakan pada SohIBBBerkompetisiArtikel

Comments
Post a Comment