Skip to main content

Memajukan Desa Dengan Lidah Buaya

Alan Efendhi bersama mahasiswa magang dari UNS (Foto : ig @efendhi_alan.rv) Pemandangan berbeda tampak disalah satu pekarangan rumah warga di  jeruklegi ,  Desa Katongan ,  Kecamatan Nglipar ,  Kabupaten Gunungkidul ,  Yogyakarta . Tumbuhan berwarna hijau dengan sisi daun berduri, panjang dan menyempit pada ujungnya, serta memiliki daun berdaging tebal, berbunga dan berlendir berjejer rapi di hamparan tanah kering sedikit berpasir. Di bawah terik matahari seorang ibu-ibu dengan telaten menyiram tanaman-tanaman tersebut dengan selang air berwarna biru. Tidak jarang pemandangan itu menjadi tontonan dan bahan cibiran oleh warga sekitar yang berlalu-lalang. Seorang tani sedang menyiramkan air pada tanaman aloe vera (Foto: Screenshot Heroes CNN Indonesia ) “Emang mau nggudek (makan) lidah buaya ?” seloroh mereka. “Jangan didengerin, tugasnya ibu merawat, ke depan aku yang akan mengolah, enggak jual bahan mentah.” kata Alan menyemangati sang ibu melalui sambung...

Memajukan Desa Dengan Lidah Buaya

Alan Efendhi bersama mahasiswa magang dari UNS (Foto : ig @efendhi_alan.rv)

Pemandangan berbeda tampak disalah satu pekarangan rumah warga di jeruklegiDesa KatonganKecamatan NgliparKabupaten GunungkidulYogyakarta. Tumbuhan berwarna hijau dengan sisi daun berduri, panjang dan menyempit pada ujungnya, serta memiliki daun berdaging tebal, berbunga dan berlendir berjejer rapi di hamparan tanah kering sedikit berpasir. Di bawah terik matahari seorang ibu-ibu dengan telaten menyiram tanaman-tanaman tersebut dengan selang air berwarna biru. Tidak jarang pemandangan itu menjadi tontonan dan bahan cibiran oleh warga sekitar yang berlalu-lalang.

Seorang tani sedang menyiramkan air pada tanaman aloe vera (Foto: Screenshot Heroes CNN Indonesia)

“Emang mau nggudek (makan) lidah buaya?” seloroh mereka.

“Jangan didengerin, tugasnya ibu merawat, ke depan aku yang akan mengolah, enggak jual bahan mentah.” kata Alan menyemangati sang ibu melalui sambungan telepon.

Optimisme Lidah Buaya

Petani Aloe Vera (Foto: Screenshot Heroes CNN Indonesia)

Meskipun telah hidup lama di Ibukota, nyatanya Alan tak sanggup menolak panggilan hatinya untuk kembali ke kampung halamannya. Bukan sekedar mudik, Alan bertekad untuk menetap di desanya, membangun sebuah usaha yang bergerak di bidang pertanian yang tidak hanya bermanfaat bagi keluarganya tapi juga lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Namun, Alan bingung tanaman seperti apa yang harus ia kelola mengingat tipikal iklim di Gunungkidul yang bersifat tropis monsun dengan karakteristik utama musim kemarau yang sangat kering dan musim hujan yang cenderung basah. Alan harus mencari jenis tanaman yang sesuai dengan topografi di wilayahnya dimana salah satu ciri khasnya adalah tanah yang sangat kering, tandus, dan minim unsur hara. Saat itu ada empat komoditas yang disiapkan oleh Alan yaitu anggur, pepaya california, buah naga dan aloe vera.

Akhirnya, Alan memilih Aloe vera atau lidah buaya untuk dibudidayakan dengan pertimbangan kemudahan dalam perawatan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Lidah buaya hanya perlu disiram tiga kali sehari dan bebas dari hama tertentu yang bisa membahayakan. Aloe vera menjadi pilihan yang menguntungkan bagi Alan karena sangat adaptif terhadap kekeringan dan memiliki ketahanan yang sangat baik di kondisi iklim dan suhu ekstrem apapun. Sangat cocok dengan Gunungkidul.

Pada saat itu popularitas aloe vera sebagai tanaman yang bisa dikonsumsi sama sekali tidak terdengar, terutama di dusun Jeruklegi yang didominasi oleh petani palawija. Karena kurang familiar dengan aloe vera, banyak tetangga Alan yang meragukan potensi aloe vera sebagai tanaman yang bisa diolah menjadi makanan ataupun minuman yang berdaya jual tinggi. Mereka hanya tahu lidah buaya sebagai tanaman obat. Oleh sebab itu, Alan seringkali mendapatkan cibiran atau olokan dari warga sekitar ketika pertama kali merintis usahanya.

Alan Efendhi Owner PT Mount Vera Sejati (Foto: Screenshot Youtube Tribun Network)

Tapi, karena Alan memiliki pengetahuan yang memadai tentang fungsi aloe vera, maka ia sangat yakin akan pilihannya dan percaya bahwa lambat laun seiring dengan usahanya terus dikembangkan, masyarakat akan mulai menyadari bahwa lidah buaya merupakan alternatif terbaik selain tanaman palawija.

“Karena kita belum bisa membuktikan ini akan menjadi seperti apa kedepannya. Tapi, waktu itu saya berkomitmen untuk membesarkan usaha saya dulu, untuk membuktikan bahwasanya keterserapan panen kedepannya itu dipastikan bakal terserap. Waktu itu saya merekrut keluarga dulu, orang-orang sekitar dulu untuk ikut budidaya (aloe vera),” ungkap Alan dikanal youtube Tribun Network.

Sejak kedatangan bibit pertamanya pada tahun 2014, Alan mulai melakukan budidaya aloe vera. Perjalanannya tidak mudah, sulit, penuh rintangan, bahkan sejak awal dicibir dan dicemooh oleh warga sekitar. Maklum, mayoritas petani di desa Katongan adalah petani palawija. Mereka kurang familiar dengan aloe vera. Bahkan, ibu Alan-pun awalnya menanam palawija di lahan pekarangan rumahnya. Setelah kedatangan bibit aloe vera pesanan Alan, barulah semua tanaman palawija itu diganti dengan lidah buaya.

Ibu Alan juga sempat terganggu dengan komentar nyinyir para tetangga sebelum akhirnya diyakinkan oleh Alan. “Tugas ibu (hanya) merawat, saya yang akan kelola” tegas Alan. Meskipun sempat mendapatkan penolakan, Alan meyakinkan Ibunya bahwa kedepan aloe vera ini akan mendatangkan kesejahteraan bukan hanya bagi keluarga mereka namun juga masyarakat sekitar.

“(Awalnya) karena saya ngga bilang (akan budidaya aloe vera) mau ngga mau ya saya bilang, iki inshaallah kedepannya bisa jadi peningkatan perekonomian keluarga kita. Bahkan tidak hanya keluarga kita, bisa sampai ke masyarakat sekitar yang ada di sini,” ucap Alan dalam sebuah podcast.

Lahan tanaman lidah buaya desa Jeruklegi (Foto: Screenshot Youtube Kemantan)

Semenjak itu Alan dan ibunya mulai merawat tanaman asli yang berasal dari Afrika Selatan, Madagascar, dan Arabia itu. Dari 350 varietas aloe vera, Alan memilih varietas unggulan yaitu Aloe barbadensis Miller dari Amerika dan Aloe cinensis Baker dari Cina. Meskipun berasal dari Cina tapi tanaman tersebut bukan asli Cina. Aloe cinensis Baker merupakan jenis yang paling banyak dikembangkan di Asia termasuk Indonesia. Diperkirakan tanaman ini mulai masuk ke Indonesia sejak abad ke-17. Aloe vera dianggap sebagai “miracle plant” atau “wonder plant” adalah tanaman obat yang telah digunakan selama lebih dari 3000 tahun diberbagai budaya yang memiliki sifat farmakologis dan fitokimia yang baik (Oighbochie et al., 2022). Hal ini pula yang telah diketahui oleh Alan. Sebagai tanaman obat, Alan yakin aloe vera akan menjadi komoditas yang sangat dibutuhkan kedepannya.

“Sejauh ini aloe vera digunakan oleh empat industri besar. Yang pertama industri farmasi atau obat-obatan. Digunakan sebagai obat pencahar, obat batuk dan lain sebagainya. Yang kedua paling disukai oleh kaum hawa yaitu industri kosmetik atau kecantikan. Jadi banyak sekali yang menggunakan aloe vera sebagai masker, lulur, handbody (lotion), sampo untuk rambut dan lainnya. Lalu berikutnya adalah industri pertanian menjadi bahan baku salah satu pupuk organik cair atau POC, dia sebagai perangsang pertumbuhan, fertilizer dan lain sebagainya. Yang keempat adalah industri makanan dan minuman yang sangat marak dan booming di tahun 2020 sebagai komoditas olahan makanan dan minuman. Peluangnya besar sekali.” terang Alan.

Rasane Vera: Membangun Desa, Memberdayakan Perempuan

Produk Rasane Vera (Foto: Screenshot Kisah Tani Sukses Youtube Kementan)

“Dulu itu sebenarnya panggilan hati, perantau (sejak) 2006, balik kampung halaman ingin mempunyai usaha yang berdampak pada keluarga dan juga lingkungan, (termasuk) sesuai dengan iklim gunung kidul,” Alan Efendhi, seorang petani sukses yang membangun desa melalui budidaya Aloe Vera.

Alan merupakan seorang petani yang tidak memiliki latarbelakang pertanian. Semua pengetahuannya seputar aloe vera ia dapatkan dari internet ataupun buku-buku. Sebagai seorang pemuda asli desa Katongan, Alan menjadi orang yang pertama menggerakkan warga desa Jeruklegi untuk menanam lidah buaya sebagai alternatif penghidupan yang mayoritas bekerja sebagai petani palawija. Alan meyakinkan bahwa setiap hasil panen lidah buaya yang mereka hasilkan akan ia beli dengan harga yang layak meskipun kualitasnya masih rendah. Aloe vera dengan grade super di beli Alan seharga 3.000 rupiah per kg, grade A 2.000 rupiah per 700 gram, dan grade B dibeli seharga 1.000 rupiah. Kepastian ini secara langsung memotivasi warga untuk melanjutkan budidaya aloe vera apalagi Alan memberikan bibit secara gratis atau cuma-cuma.

Sejak awal Alan memang mempertimbangkan bagaimana kegiatan yang akan ia jalankan memiliki dampak lingkungan dan sosial bagi warga sekitar, tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya saja. Evi Hasanah menjadi salah satu contoh bagiamana industri rumahan milik Alan ini bisa memberikan kesempatan bagi dirinya yang selama ini berstatus sebagai ibu rumah tangga untuk ikut berpartisipasi meningkatkan perekonomian keluarganya.

Evi Hasanah menjadi satu dari duabelas karyawan wanita yang dimiliki oleh Alan sekaligus orang pertama yang bergabung dengan ‘Rasane Vera’-brand yang memproduksi minuman dan makanan olahan aloe vera milik Alan. -  Awalnya Evi hanya ingin belajar tata cara pembudidayaan aloe vera, namun, seiring dengan tingginya permintaan konsumen, ia turut serta membantu keluarga Alan memproduksi Rasane Vera. Evi sangat bersyukur berkat hadirnya industri rumahan tersebut, ia bisa membantu perekonomian keluarga yang awalnya hanya bisa mengandalkan pendapatan suaminya untuk kebutuhan sehari-hari.

Evi Hasanah, karyawan pertama Rasane Vera (Foto: Screenshot CNN Indonesia)

“Alhamdulillah, yang tadinya saya cuma ibu rumah tangga, gitu, mengandalkan pendapatan dari suami, tapi dari sini alhamdulillah, menambah ekonomi saya untuk membayar sekolah anak, bantu-bantu membeli lauk dirumah, kayak gitu, alhamdulillah sekali pokoknya,” jelas Evi seperti yang dikutip dari CNN Indonesia.

Untuk skema pengupahan, Alan menerapkan sistem kerja borongan pada karyawannya dimana setiap satu resep olahan aloe vera dihargai sebesar 30.000 rupiah. Rata-rata ada lima resep yang dihasilkan dalam satu hari oleh setiap kelompok yang terdiri dari tiga karyawan. Oleh karena itu, Evi bisa memperoleh tambahan upah sebesar Rp 250.000 tiap minggu. Saat bulan ramadhan tiba atau menjelang hari raya idul fitri, pendapatan Evi bisa naik berkali kali lipat akibat membludaknya pesanan Rasane Vera. Meskipun terkadang harus lembur, ia tetap senang dan bersyukur, berharap usaha Rasane Vera bisa terus berkembang dan membuka banyak lapangan pekerjaan.

“Semoga usahanya mas Alan ini makin sukses dan bisa membuka lapangan kerja untuk yang lain lagi dan bisa mengangkat ekonomi untuk masyarakat sekitar sini dan Gunungkidul khususnya,” ucap Evi penuh harapan dan mata yang berbinar.

Rasane Vera didirikan pada tahun 2018, empat tahun setelah Alan memulai budidaya aloe vera pada 2014. Beberapa jenis minuman yang diproduksi adalah Nata de Aloe Vera yang mengandung gula batu, Stevia Aloe yang mengandung pemanis dari ekstrak daun stevia yang sangat cocok bagi penderita diabetes tapi tetap ingin menikmati segarnya minuman lidah buaya, Aloe Fiber yang mengandung madu klanceng membantu meningkatkan daya tahan tubuh karena bersifat antibakteri dan antioksidan, Aloe Cube Drink yang terdiri dari delapan varian rasa, dan Aloe Vera Pure Slice yang merupakan daging murni lidah buaya yang tidak memiliki rasa dan biasanya dikreasikan dalam berbagai olahan makanan dan minuman. Untuk olahan makanan ada dodol dan keripik. Dalam sehari Alan bisa menggunakan sekitar 500 kg aloe vera segar untuk memproduksi Rasane Vera.

Seorang wanita sedang menimbang berat aloe vera (Foto: Screenshot Youtube Punca Media)

Alan juga membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) yang terdiri dari 25 orang dan 75 kelompok plasma sebagai mitra binaan yang tersebar di Klaten, Sleman, dan Bantul. Secara keseluruhan ada sekitar 125-130 orang yang menjadi pemasok lidah buaya bagi industri rumahan milik Alan dimana sebagian besar, hampir 70% adalah perempuan usia 45-80 tahun, dengan status sebagai ibu rumah tangga. Sebagian dari mereka ada yang tidak sekolah dan hanya tamatan SMP. Alan berharap melalui usaha yang ia jalankan para perempuan di desanya bisa mandiri, berdedikari, dan tidak selalu bergantung pada penghasilan suami.

“Kini mereka bisa menyekolahkan anaknya kembali, yang tadinya terlilit utang kini bisa melunasi utangnya,” Alan Efendhi founder Rasane Vera

Aloe Land: Petani Milenial dan Pemberdayaan Lingkungan

Kampung Edukasi Aloevera Aloeland di Gunungkidul (Foto: Screenshot Youtube Dompet Dhuafa)

“Kebanyakan saat ini orang tua tidak menghendaki anaknya menjadi petani. Walaupun kebanyakan dari mereka (orang tua) bekerja sebagai petani,” Alan Efendhi, owner dari PT Mount Vera Sejati.

Bagi anak muda menjadi petani bukanlah suatu kebanggaan. Stigma yang melekat bahwa petani adalah pekerjaan yang remeh-temeh, penuh tanah dan lumpur, ndeso dan kurang terdidik. Pekerjaan ini identik dengan kemiskinan dan upah yang rendah. Bahkan, sebagian besar generasi muda yang notabene adalah anak dari petani, ternyata tidak berkeinginan untuk melanjutkan pekerjaan dan usaha turun temurun orang tuanya (Sumaryanto et al. 2015).

Menurut Susilowati (2016) faktor yang menyebabkan rendahnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian adalah profesi petani yang dianggap kurang prestisius, risiko pekerjaan tinggi, stabilitas dan kontinuitas pendapatan fluktuatif, minimnya kepemilikan lahan, rendahnya tingkat usaha tani, diversifikasi usaha dan perindustrian kurang, dan tidak adanya kebijakan insentif untuk petani pemula. Sebagai petani milenial, Alan menyarankan agar profesi petani diperkenalkan sejak dini dengan image yang lebih positif.

Alan bersama peserta magang "Wirausaha Merdeka" UPY (Foto: ig @efendhi_alan.rv)

“Bisa saja dari buku paket sekolah, umpanya ketika ada bab tentang cita-cita, itu bisa disisipkan bahwa petani itu ya pakainya baju keren, belakangnya ada drone untuk penyiraman atau kultivator yang keren. Anak-anak kecil saat ini malas jadi petani karena ketika dihadapkan dengan buku paket, itu isinya petani ngga pakai baju, bawa cangkul, dan kotor,” ungkap Alan dalam sebuah podcast.

Apa yang disampaikan Alan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Konyep (2021) bahwa strategi yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir generasi muda tentang pertanian dengan memberikan informasi mengenai potensi dunia pertanian. Pada tahun 2018, Alan mendirikan Aloe Land sebagai wisata edukasi di Gunungkidul untuk merangsang kembali minat anak-anak muda dalam bidang pertanian ditengah menurunnya jumlah petani di Indonesia.

“Aloe Land ini tentang bagaimana caranya anak muda mau terjun ke industri pertanian. Saya ingin mengubah pola pikir mereka bahwa petani juga bisa menghasilkan.” lanjut Alan

Alan sedang mengajari siswa-siswi SD cara berbudidaya lidah buaya (Foto: Screenshot Youtube CNN Indonesia)

Jika zona selatan Gunungkidul terkenal dengan wisata pantai dan pegunungannya, maka di zona utara tepatnya di desa Katongan, terdapat wisata edukasi tentang budidaya dan pengelolahan aloe vera yang dikenal sebagai Aloe Land atau Desa Edukasi Aloe Vera. Para pengunjung akan diberikan pemaparan tentang bagaimana membudidayakan aloe vera, memilih varietas yang unggul, cara memanen yang tepat, proses pengelolahan terbaik agar menjadi sebuah produk yang bernilai ekonomi, legalitas, branding dan marketing. Tidak hanya itu, para pengunjung akan dimanjakan dengan berbagai produk hasil olahan aloe vera seperti makanan, minuman dan keripik yang bisa langsung dikonsumsi. Para pengunjung Aloe Land berasal dari berbagai kalangan mulai dari anak-anak, mahasiswa sampai orang dewasa. Sebagai petani, Alan meyakini bahwa edukasi dan sosialisasi dibutuhkan untuk menyadarkan masyarakat mengenai potensi pertanian kedepannya bagi kesejahteraan para petani khususnya petani aloe vera yang berada di wilayah Gunungkidul.

Sumber foto : ig @efendhi_alan.rv

Menanam aloe vera merupakan hal yang baru bagi warga Katongan. Mayoritas warga di desa ini berprofesi sebagai petani palawija. Kendatipun dengan Alan. Seluruh kebunnya ditanami palawija sebelum memutuskan untuk menggantinya dengan tanaman lidah buaya atau aloe vera. Salah satu pertimbangan Alan adalah kondisi geografis di wilayah Gunungkidul. Pertanian yang dimiliki kabupaten Gunungkidul sebagian besar adalah lahan kering tadah hujan yang sangat tergantung pada daur iklim khususnya curah hujan. Sebagian besar wilayah didominasi oleh perbukitan karst sehingga sulit meyimpan air tanah. Akibatnya, lahan menjadi kurang subur, kering dan tandus. Permukaan tanah yang tidak mampu menyimpan air akan menjadi sangat kering ketika musim kemarau berlangsung atau ketika curah hujan sedang menurun. Alan kemudian mulai mencari tahu komoditas yang paling cocok untuk dibudidayakan dengan karakterisistik ekosistem pertanian seperti di wilayah Gunungkidul. 

“Kira-kira komoditas apa yang paling memungkinkan untuk saya budidayakan di Gunungkidul yang notabene-nya panas, jika musim penghujan curah hujannya cukup tinggi, musim panasnya bisa membuat tanah merekah-rekah, alhasil mengerucut ke tanaman aloe vera atau lidah buaya,” kata Alan menjelaskan.

Aloe Vera (Foto: Pixabay)

Aloe vera atau lidah buaya termasuk tanaman yang efisien dalam penggunaan air, karena dari segi fisiologis tumbuhan, tanaman ini termasuk dalam jenis CAM (crassulance acid metabolism) dengan sifat tahan kekeringan. Tumbuhan CAM melakukan pengikatan CO2 pada malam hari untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan beradaptasi terhadap cuaca kering dan panas.  Lidah buaya dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan udara kering dan tidak membutuhkan kelembapan yang ekstra. Suhu udara rata-rata harian di Gunungkidul adalah 27,7 °C, minimum 23,2 dan suhu maksimum 32,4 °C. Suhu terbaik yang sangat disukai lidah buaya antara 18-29 °C. Kondisi klimatologis di Gunungkidul sangat mendukung pertumbuhan aloe vera.

Dari kontur tanah, wilayah Gunungkidul didominasi jenis tanah latosol. Tanah latosol mengandung pasir 43,38%, debu 22,00% dan 34,72 liat. Meskipun memiliki tingkat kesuburan yang rendah, tanah latosol dapat digunakan untuk bercocok tanam, menunjang pertumbuhan akar tumbuhan, dan sebagai penyubur tanaman. Aloe vera merupakan tanaman yang tidak membutuhkan perawatan khusus dan memiliki pertumbuhan yang mudah dan cepat terutama di daerah tropis dengan lahan berpasir. Kondisi tanah di Gunungkidul sangat cocok bagi pertumbuhan aloe vera karena memilki drainese yang cukup baik. Kandungan pasir pada tanah latosol membuat tanaman lidah buaya tidak mudah tergenang air.

Tanaman Lidah Buaya (Foto: Pixabay)

Sejak awal Alan berkeinginan agar budidaya aloe vera yang dilakukan bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Alan memanfaatkan tanah-tanah kritis yang tidak produktif untuk ditanami lidah buaya. Pemanfaatan lahan yang terbengkalai dengan cara bertani adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga unsur hara pada tanah. Lidah buaya mengandung serat yang banyak sehingga dapat memperbaiki sifat fisik dari tanah dan menjaga kelembapannya. Dengan mengembangkan varietas tanaman yang tahan kekeringan seperti lidah buaya, lahan kering yang dimiliki warga Katongan bisa dioptimalkan untuk pertanian. Alan membuktikan bahwa tanah yang kurang subur tetap bisa menghasilkan selama komoditas yang dipilih sesuai dengan agroekosistem suatu wilayah.

“Saya ingin kembali ke kampung halaman namun memiliki kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan di bidang pertanian. Aloe vera memiliki potensi yang sangat luar biasa karena hampir diseluruh dunia negara-negara besar memiliki produk aloe vera yang digunakan sebagai bahan baku farmasi, obat-obatan, maupun kosmetik atau kecantikan. Dan itu peluang yang sangat besar sekali kedepannya untuk para pemuda-pemudi di Indonesia untuk ikut turut serta membudidayakan lidah buaya,” ucap Alan dalam dokumentasi Kisah Tani Sukses Bangun Desa Lewat Budidaya Aloe Vera.

Dalam mengoperasikan Aloe Land sebagai pusat pelatihan dan edukasi budidaya aloe vera, Alan banyak merekrut anak muda untuk turut serta. Sekitar 30% karyawan Alan merupakan kaum milenial dan Gen Z yang tergabung dalam Taruna Tani. Mereka diberi tugas untuk melakukan pendampingan selama kunjungan wisata di Aloe Land. Diantara mereka ada yang bertindak sebagai resepsionis, edukator, pengelolah pasca panen, dan layanan-layanan konsumen lainnya yang dibutuhkan selama kegiatan tour di Desa Edukasi Aloe Vera, Aloe Land. Hal tersebut dikatakan Alan sebagai upaya pemberdayaan anak muda di desanya. Alan percaya bahwa anak muda membawa peran yang penting untuk pertanian di masa depan. 

“Kita kolaborasi, berkolabor-aksi, membuat gebrakan baru melalui aloe vera,” tutur Alan

Apresiasi SATU Indonesia Awards

Alan Efendhi Peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 bidang Kewirausahaan (Foto: Astra)

SATU Indonesia Awards merupakan program apresiasi yang diselenggarakan oleh PT Astra Internasional Tbk bagi individu maupun kelompok yang telah memberikan konstribusi positif di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi. SATU adalah singkatan dari Semangat Astra Terpadu Untuk (Indonesia) yang diluncurkan pertama kali oleh Astra pada tahun 2009 dan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2009.

SATU Indonesia adalah langkah nyata yang dilakukan oleh grup Astra sebagai apresiasi kapada para anak muda Indonesia yang secara aktif melakukan kegiatan yang memberikan kebermanfaatan dan keberlanjutan bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Alan Efendhi menjadi salah satu pemuda yang berhasil meraih penghargaan dari Astra sebagai penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 berkat kontribusinya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gunungkidul melalui budidaya aloe vera. Ketika akan mengikuti ajang SATU Indonesia Award, Alan sempat merasa malas, pesimis, ragu jika usaha yang ia jalankan akan mendapatkan penghargaan dari Astra.

“Kayaknya udah ngga mungkin deh dengan skala usaha sekecil ini bisa memenangkan ajang sebesar ini” Alan Efendhi, Penerima Apresiasi 14th SATU Indonesia Awards 2023 di bidang kewirausahaan.

Sumber foto: ig @efendhi_alan.rv

Sepemahaman Alan diawal, hanya merekalah yang mempunyai bisnis dengan skala besar dan pangsa pasar yang luas yang berhak memperoleh apresiasi dari Astra. Belakangan, setelah mengulik lebih dalam, akhirnya ia menyadari bahwa pemahaman itu salah dan perlu diluruskan.

“Itu engga (skala bisnis dan pangsa pasar). Ternyata kebermanfaatan dari usaha kita itu sejauh mana, lalu dampak lingkungannya itu baik atau malah kurang baik bagi lingkungan. Akhirnya saya mulai menggali lagi potensi yang saya kembangkan di aloe vera ini, di Gunungkidul,” Ucap Alan dalam Bincang Inspiratif bersama Astra dan Solopos Media.

Seperti ketika awal memulai usaha budidaya aloe vera, perjalanan Alan Efendhi sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 kategori Kewirausahaan tidaklah gampang. Berawal dari tahun 2020 melalui link yang dibagikan oleh temannya ia merasa tertarik dan mulai mendaftarkan diri sebagai peserta SATU Indonesia Awards. Sayangnya, nasib baik belum berpihak kepadanya pada saat itu. Ia mengaku kurang maksimal dalam meng-cover kisahnya sebagai petani lidah buaya. Bisa dibilang “asal-asalan” atau “asal cerita.”

Di tahun berikutnya, 2021, ia kembali mengikuti ajang penghargaan dari Astra tersebut dan hasilnya-pun masih saja mengecewakan. Ia gagal menjadi peraih SATU Indonesia Awards 2021. Alan berpendapat bahwa narasi yang ia paparkan terkait kegiatannya sebagai pembudidaya aloe vera masih kurang utuh. Ia kurang mengekspose seluruh kegiatannya, termasuk metode atau proses pembudidayaan yang ia pilih, bagaiamana kegiatan tersebut berdampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar, hingga kondisi sebelum dan setelah Alan kembali ke kampung halamannya dan memulai budidaya dan produksi aloe vera. Sekali lagi, Alan kurang maksimal dalam menceritakan kisahnya sebagai seorang pembudidaya lidah buaya.

Pada tahun 2022, ia mulai pesimis bahwa kegiatan yang ia kerjakan akan dilirik oleh para juri. Menurut Alan, dengan skala usaha sekecil itu yang hanya setara dengan UMKM, kesempatan untuk menang sangat kecil bahkan mustahil. “Kayaknya udah ngga mungkin deh dengan skala usaha sekecil ini bisa memenangkan ajang sebesar ini,” pesimis Alan. Akhirnya ia melewatkan untuk ikut serta dalam ajang SATU Indonesia Awards 2022. Lagi, dan lagi, secara tidak langsung ia kembali gagal meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022.

Bincang Inspiratif, Bersama Berkarya Berkelanjutan (Foto: Screenshot Youtube Solopos Media)

Nyatanya, Alan bukanlah orang yang mudah menyerah, tak kenal putus asa, tidak membatasi diri untuk terus belajar, dan berani serta siap mengambil segala kesempatan yang muncul. Pada tahun 2023 Astra kembali mengadakan Apresiasi SATU Indonesia Awards yang ke-14. Semangat Alan untuk turut serta dalam ajang penghargaan yang bergengsi tersebut mulai terbakar dan membara. Ia termotivasi dari sosok insipiratif penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2022 di bidang Kewirausahaan, Alfira Oktaviani. Alan belajar banyak dari kegiatan Alfira dan sampai pada kesimpulan bahwa ternyata pemikiran awalnya sangat keliru.

“Saya mulai mengulik beliau. Alhamdulillah ternyata yang dinilai itu bukan besarnya usaha kok, bukan seperti apa usaha kita sudah memasarkannya, sejauh mana, itu engga. Ternyata (yang lebih penting) kebermanfaatan usaha kita sejauh mana, lalu dampak lingkungannya baik atau tidak. (Mungkin) itu yang menjadi tolak ukur. Akhirnya narasi yang saya buat bisa dilirik. Saya kembali mengulik potensi dari Aloe Vera yang saya kembangkan.” terang Alan.

Di tahun 2023, dengan tekad yang bulat serta semangat dan motivasi yang kian berkobar, ia kembali mendaftarkan diri sebagai peserta Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023. Nampaknya Alan sangat belajar dari pengalaman gagal sebelumnya. Meskipun masih tidak percaya, ternyata Alan lolos sampai ke tahap 12 besar.

“Ngga nyangka banget waktu itu. Ketika pertama kali diundang zoom untuk seleksi 24 besar sampai akhirnya saya di 12 besar, juga kaget, kok bisa sih kegiatan saya yang kek gini? usaha juga belum besar-besar banget, ternyata bisa masuk (juga) 12 besar. Alhamdulillah kita bisa memaksimalkan apa kegiatan kita disini dan dituliskan dalam sebuah narasi” kata Alan menjelaskan.

Alan bersama rekannya sedang melakukan wawancara media (Foto: Screenshot Youtube CNN Indonesia) 

Alan mengaku bahwa proses yang ia lalui sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards sangat panjang. Ia mendapatkan mentoring dari seorang juri yang sangat ahli dibidangnya dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis kepada Alan terkait dengan usaha yang ia jalankan. Sang juri sangat detail sehingga Alan-pun sempat merasa “wow.”

“Dari mulai hal sekecil apapun itu dia tahu kurangnya dimana (tertawa). Terutama usaha saya ini banyak sekali celah-celah (dan) beliau kasih insight juga, sehingga saya bisa memperbaiki dengan harapan ketika nantinya saya penerima Apresiasi (SATU Indonesia Awards) bisa sustainable di usaha saya, dan bisa lebih banyak lagi berdampak kepada masyarakat sekitar, lingkungan, dan meluaskan manfaat sebesar-besarnya,” jelas Alan.

Dengan perjalanan panjang nan berliku, diiringi segenap doa dan ikhtiar yang tulus dan khusyuk, akhirnya Alan berhasil keluar sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 dalam bidang Kewirausahaan. Tahun 2023 nampaknya memang dijadikan Tuhan sebagai momentum terbaik bagi Alan. Tidak hanya sebagai peraih Apresiasi setelah tiga kali mencoba, tahun 2023 Alan genap berusia 35 tahun. Usia maksimal dan tahun terakhir bagi Alan untuk mendapatkan kesempatan sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra. “What a miracle?”

SATU Indonesia Awards memang fokus kepada para anak muda Indonesia yang giat melakukan aktivitas positif yang bisa berkontribusi pada kehidupan bangsa yang lebih baik. Alan Efendhi menjadi salah satu pemuda asli Katongan yang berani berkarya melewati segala batasan iklim di Gunungkidul yang sangat gersang, panas, dan memiliki tanah yang kurang produktif- minim unsur hara. – Alan bisa melihat peluang dibalik segala keterbatasan tersebut. Niat untuk mensejahterahkan keluarga dan warga desa Jeruklegi terus mendorong Alan agar tak mudah putus asa. Tak hanya terkait topografi, dari sisi finansial-pun menjadi tantangan yang berat bagi Alan. Dengan menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya, ia berhasil mengumpulkan modal awal yg tidak banyak.

“Memang tidak banyak. Tidak sampai 5.000.000 juta rupiah.” kata Alan.

Alan Efendhi sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023 di bidang Kewirausahaan (Foto: ig @efendhi_alan.rv)

Sebagai peraih SATU Indonesia Awards 2023 Alan merasa bersyukur kerja kerasnya selama ini bisa mendapatkan apresiasi dari Astra. Penghargaan ini menjadi penyemangat sekaligus tantangan bagi dirinya untuk terus berkarya dan menyebarkan kebaikan bagi lingkungan dan sosial. Tugas Alan selanjutnya adalah bagaimana ia bisa menguasai pasar Indonesia, menjadi eksportir unggulan di dunia internasional, dan membuka lapangan pekerjaan sebesarnya-besanya. Sebagai peraih Apresiasi SATU Indonesia Awards, Alan menyatakan bahwa ini baru awal dari segala kebermanfaatan. Baginya, keberlanjutan adalah kunci.

“Kita mendapatkan apresiasi uang tunai sebesar Rp 65 juta (modal) untuk scale-up, membeli alat, dan sebagainya. Tapi yang paling penting lagi adalah efek setelahnya. Di komunitas Astra kita bisa saling bertukar inspirasi. Ini juga menjadi prestasi bagi saya dan juga teman-teman akhirnya bisa berkolaborasi untuk menjadikan Indonesia Emas di tahun 2045” tegas Alan.

Alan berharap bahwa SATU Indonesia Awards ini bisa menjadi jembatan bagi generasi muda di Indonesia untuk berani mengambil langkah dan turut berperan aktif, berkontribusi dalam tercapainya pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.

Awarding SATU Indonesia Awards 2023 (Foto: ig @efendhi_alan.rv)

#SatukanGerakTerusBerdampak

#KitaSATUIndonesia



Comments

Popular posts from this blog

Pengen Punya Rumah? Ini Salah Satu Investasi Yang Bisa Dilakukan

  Homebuying (Foto: Pixabay) Berbeda dibanding generasi sebelumnya milenial menganggap kepemilikan rumah bukan menjadi hal yang mendesak. Alih-alih membeli mereka lebih senang dengan menyewa tempat tinggal. Alasannya bisa bermacam-macam mulai dari fleksibiltas, berpindah-pindah agar menemukan suasana baru yg nyaman sampai keengganan memiliki hunian yang tidak sesuai dengan karakteristik ‘ rumah idaman .’ Renter generation . Ya, itulah julukan untuk para milenial saat ini. Usia muda ‘mendesak’ mereka untuk memperoleh kebahagiaan sesegera mungkin sementara kebahagiaan di ‘usia tua’ seperti memiliki rumah nampaknya berada pada wish list paling akhir. Bukan berarti memiliki tempat tinggal tidak penting bagi mereka, gaya hidup anak muda saat ini memang agak sedikit berbeda dibanding pendahulunya. Terlihat jelas dari bagaimana mereka menyusun skala prioritas pada setiap jenjang kehidupan yang dilalui. Taruhlah mereka dihadapkan pada dua pilihan antara membeli mobil atau menyicil r...

Beberapa Alasan Mengapa UMKM Sebaiknya Memiliki Website

Template Layout Website (Foto: Pixabay) Pada tahun 2045 Indonesia diprediksi akan menempati peringkat ke 4 dengan ekonomi terkuat di dunia. Di tahun 2025, Indonesia akan memimpin sebagai Negara dengan ekonomi digital terbesar se-kawasan Asia Tenggara.Di tahun 2030, Indonesia akan memperoleh bonus demografi dimana hampir semua penduduknya berada pada usia produktif antara 15-64 tahun. Untuk tahun ini, apa kira-kira langkah pasti yang bisa di kerjakan untuk memperbaiki kondisi keuangan dan ekonomi Indonesia, terutama UMKM sebagai backbone ekonomi nasional? Dibalik kesenangan selalu ada kesukaran, Berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian. Tak ada laut yang tak berombak, Siapa menjala, siapa terjun.   Peribahasa diatas mungkin sedikit mewakili situasi masyarakat ketika ditimpa suatu bencana (dalam hal ini Covid-19 ) yang tak terduga, tak disangka-sangka, dan tanpa antisipasi memadai, lalu kemudian secara bersamaan digempur oleh kecepatan dan kecanggihan teknologi yang sekal...